Definisi Iman
Iman secara etimologi bermakna pembenaran yang bersifat khusus, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Dan tidaklah engkau akan beriman (membenarkan) kami walaupun kami adalah orang-orang yang jujur.” (QS. Yusuf: 17).
Ucapan kami ‘yang bersifat khusus’ maknanya adalah pembenaran yang sempurna dengan hati, yang melazimkan lahirnya amalan-amalan hati dan anggota tubuh. Hal ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Arbaun dan Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi dalam Syarh Ath-Thahawiah.
Adapun secara terminologi, maka iman adalah: (1)Pengucapan dengan lisan, (2)keyakinan dengan hati, (3)pengamalan dengan anggota tubuh, (4)bertambah dengan melaksanaan ketaatan dan (5)berkurang dengan melaksanakan kemaksiatan. Inilah definisi iman di sisi para ulama kaum muslimin. Inilah kelima syarat atau rukun keimanan.
Berikut penjelasan ringkas dari lima perkara di atas:
1. Pengucapan lisan.
Seseorang dikatakan tidak beriman terhadap sesuatu sampai dia mengucapkan dengan lisannya apa yang dia imani tersebut. Karenanya barangsiapa yang mengimani sesuatu dengan hatinya akan tetapi dia tidak mengucapkannya maka dia tidaklah dihukumi beriman kepadanya, selama dia sanggup untuk mengucapkannya dengan lisannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka betul-betul demi Rabbmu, mereka tidak beriman sampai menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai pemutus perkara pada semua perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati di dalam diri-diri mereka adanya perasaan berat untuk menerima keputusanmu dan mereka berserah dengan sepenuh penyerahan diri.” (QS.An-Nisa`: 65)
Maka dalam ayat ini Allah meniadakan keimanan dari seseorang sampai mereka menerima dengan sepenuh hati keputusan Rasulullah lalu melaksanakan keputusan tersebut dengan lisan atau perbuatan mereka.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- juga bersabda, “Iman mempunyai 73 sampai 79 cabang, yang paling utama -dalam sebagian riwayat: Yang paling tinggi- adalah ucapan ‘laa ilaha illallah’, yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalanan dan malu adalah salah satu dari cabang-cabang keimanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Di antara dalil akan hal ini adalah kesepakatan para ulama akan matinya Abu Thalib -paman Rasulullah- dalam keadaan kafir. Karena walaupun dia meyakini kebenaran Islam, akan tetapi dia tidak mau mengucapkannya karena malu atau sombong.
Sebagian sekte sesat dalam Islam seperti Al-Karramiah (pengikut Muhammad bin Karram) meyakini bahwa Iman itu hanya pengucapan dengan lisan semata tanpa perlu meyakini dan mengamalkannya. Keyakinan ini terbantahkan dengan semua dalil yang mempersyaratkan harus adanya keyakinan hati dan pengamalan anggota tubuh dalam keimanan. Keyakinan ini juga melazimkan bahwa orang munafik itu seorang mukmin karena dia telah mengucapkan dan mengamalkan Islam -walaupun tanpa meyakinin kebenarannya-, dan tentu saja kelaziman ini batil. Kalau suatu kelaziman dari sesuatu adalah kebatilan maka berarti sesuatu itu juga merupakan kebatilan.
2. Keyakinan dengan hati.
Tidak ada iman tanpa keyakinan hati. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama akan kafirnya kaum munafikin yang mengaku beriman dengan lisan dan amalan mereka akan tetapi mereka tidak meyakininya dengan hati.
Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafikin, “Kalau orang-orang munafik datang kepadamu (wahai Muhammad) seraya berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Allah mengetahui bahwa engkau adalah Rasul-Nya dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu adalah para pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Maka lihatlah bagaimana mereka mengucapkan kedua syahadat langsung di hadapan Rasulullah, mereka shalat di belakang Rasulullah, mereka menyerahkan langsung zakat mereka ke tangan Rasulullah dan seterusnya. Akan tetapi semua amalan besar lagi hebat tersebut tidak berarti di hadapan Allah Ta’ala, bahkan Allah menetapkan hukum-Nya kepada mereka, “Sesungguhnya orang-orang munafik berada di lapisan terbawah dari neraka.” Hal itu karena Allah telah membongkar kebusukan hati mereka dengan firman-Nya, “Di antara manusia yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 8)
Karenanya Allah Ta’ala mempersyaratkan tidak adanya keragu-raguan dalam keimanan yang dibuktikan dengan amalan saleh. Allah Ta’ala menyatakan, “Tidak ada orang-orang yang beriman kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, lalu mereka berjihad dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka di jalan Allah. Merekalah orang-orang yang jujur keimanannya.”
Abu Manshur Al-Maturidi (perintis sekte Al-Maturidiah) berpendapat bahwa Iman itu hanya dengan pembenaran hati semata. Ini adalah pendapat yang batil karena melazimkan Abu Thalib mati dalam keadaan beriman, karena dia membenarkan agama Rasulullah, walaupun dia tidak mau mengucapkan dan mengamalkannya. Dan batilnya kelaziman dari sesuatu menunjukkan batilnya sesuatu tersebut.
Yang lebih parah lagi adalah keyakinan Jahmiah (dimunculkan oleh Jahm bin Shafwan) dan juga pendapat Abu Al-Husain Ash-Shalihi (salah seorang pembesar sekte Al-Qadariah). Dimana mazhab mereka adalah hal ini adalah bahwa keimanan itu cukup dengan hati mengenal siapa Rabbnya. Kalau hati sudah mengetahui siapa Rabbnya maka dia adalah mukmin sejati. Ini adalah mazhab yang paling batil, karena di antara kelazimannya adalah: Iblis, Firaun dan para pengikutnya, ahli kitab dan juga kaum musyirikin adalah mukmin sejati, karena tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengenal Allah, sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pembahasan ‘Beberapa Pemaknaan Keliru dari Kalimat Tauhid’. Kalau kelazimannya seperti ini, maka jelas sudah kebatilan mazhab ini.
3. Pengamalan dengan anggota tubuh.
Ini termasuk permasalahan yang butuh dipahami dengan baik, yaitu amalan adalah bagian dari definisi iman, bukan penyempurnanya dan bukan pula sekedar suatu kewajiban dari iman, bahkan dia adalah keimanan itu sendiri. Tidak ada amalan tanpa iman dan tidak ada juga iman tanpa amalan.
Di antara dalilnya adalah ayat dalam surah An-Nisa` dan hadits Abu Hurairah riwayat Muslim, yang telah kami sebutkan di atas dan juga ayat dalam surah Al-Anfal yang akan kami sebutkan.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- juga bersabda kepada rombongan Abdu Al-Qais, “Saya memerintahkan kalian untuk beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah semata? Yaitu persaksian bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, berpuasa ramadhan dan kalian menyerahkan seperlima dari ghanimah kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
Dalam hadits ini, beliau -shallallahu alaihi wasallam- menafsirkan keimanan dengan amalan zhahir.
Sebagian kelompok dari sekte Murjiah berpendapat bahwa iman itu hanya pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lisan. Adapun amalan, maka mereka menganggapnya hanya sebagai kewajiban iman, yang kalau ditinggalkan maka pelakunya berdosa dan akan mendapatkan siksaan, hanya saja hal tersebut tidak berpengaruh pada keimanannya. Misalnya seseorang melakukan maksiat dengan meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram, maka menurut mereka maksiat tersebut tidak berpengaruh dan tidak akan mengurangi imannya, walaupun dia berdosa dan akan disiksa karenanya. Maka mereka tidak menggolongkan amalan ke dalam syarat-syarat keimanan, akan tetapi mereka hanya menggolongkannya ke dalam kewajiban-kewajiban iman.
Ini adalah mazhab yang batil berdasarkan dalil-dalil di atas dan juga dalil-dalil yang akan kami sebutkan berkenaan dengan bertambahnya iman dengan ketaatan dan berkurangnya ia dengan kemaksiatan. Kalau amalan mempengaruhi keimanan maka itu menunjukkan bahwa amalan merupakan salah satu dari syarat keimanan.
Kelaziman batil dari mazhab ini adalah lahirnya ucapan dari sebagian di antara mereka (murjiah), “Keimanan peminum khamar sama seperti keimanan Abu Bakar.” Kalau dikatakan kepadanya, “Peminum khamar dan pezina adalah pelaku maksiat, keimanan mereka tidak mungkin bisa disetarakan dengan keimanan Abu Bakar.” Maka dia akan serta merta menjawab, “Amalan maksiat itu masalah lain, dia bukan bagian dari iman, karena iman itu hanya ucapan dan keyakinan. Abu Bakar mengucapkan keimanan dan meyakininya, demikian halnya para pelaku maksiat, kalau begitu keimanan mereka sama.” Kelaziman batil ini mengharuskan batilnya mazhab ini.
4. Bertambah dengan amalan ketaatan.
Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang beriman itu hanyalah mereka yang kalau nama Allah disebut maka hati-hati mereka akan bergetar, dan kalau ayat-ayatNya dibacakan kepada mereka maka ayat-ayat hal itu akan menambah keimanan mereka dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka. Yaitu mereka yang menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka. Merekalah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Anfal: 2-4)
Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati-hati orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka yang telah ada.” (QS. Al-Fath: 4)
Maka semua dalil ini menunjukkan dengan tegas akan bertambahnya keimanan dengan ketaatan, dan hal ini mencakup umum pada semua makhluk Allah yang berbuat ketaatan.
5. Berkurang dengan mengerjakan maksiat.
Ini adalah kelaziman dari bertambahnya keimanan, yakni kalau iman bisa bertambah maka berarti dia juga bisa berkurang, sebagaimana iman bisa masuk maka dia juga bisa keluar dari seseorang. Karenanya setiap dalil yang menyatakan bahwa iman bisa bertambah, maka dia juga adalah dalil yang menyatakan bahwa iman bisa berkurang. Dari sisi, kalau iman seseorang bertambah hari ini -misalnya-, maka berarti keimanannya yang kemarin itu kurang dibandingkan keimanannya hari ini, dan ini kami kira adalah suatu hal yang bisa dipahami.
Di antara dalil-dalil khusus yang menunjukkan keimanan bisa berkurang adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Kalau dia tidak sanggup maka dengan lisannya. Kalau dia tidak sanggup maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya keimanan.” (HR. Muslim dari Abu Said Al-Khudri)
Hanya saja yang penting diketahui bahwa maksiat sebanyak dan sebesar apapun -selama bukan kekafiran dan kesyirikan- maka itu hanya akan mengurangi keimanan seseorang tapi tidak sampai menghilangkan dan menghabiskan keimanannya. Berbeda halnya dengan sekte Al-Khawarij, yang mengganggap bahwa dosa besar itu menghabiskan iman atau mengkafirkan pelakunya.
Wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam.
0 komentar:
Posting Komentar