Sistem Self Assessment
Menurut bagian penjelasan UU KUP bahwa self assessment adalah ciri dan corak sistem pemungutan pajak. Self assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk:
[a.] berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP [nomor pokok wajib pajak];
[b.] menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang.
[a.] berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP [nomor pokok wajib pajak];
[b.] menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang.
Masih menurut penjelasan UU KUP bahwa sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Media atau surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak disebut Surat Pemberitahuan, disingkat SPT.
Kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang kepada Wajib Pajak idealnya ditunjang dengan :
[a.] kesadaran Wajib Pajak tentang kewajiban perpajakan;
[b.] keinginan untuk membayar pajak terutang walaupun terpaksa;
[c.] kerelaan Wajib Pajak untuk menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku;
[d.] kejujuran Wajib Pajak untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Salah satu bagian dari sistem self assessment adalah adanya daluwarsa penagihan yang di Pasal 22 UU KUP. Aturan terakhir, UU No. 28 tahun 2007, daluwarsa penagihan ditetapkan 5 (lima tahun saja)! Apa maknanya? Bahwa negara tidak memiliki hak untuk menagih atau memungut pajak setelah lewat 5 tahun. Berapapun utang pajak! Selain itu, SPT yang dilaporkan kepada DJP juga dianggap benar setelah 5 tahun. Secara hukum, setelah lewat 5 tahun, kewajiban perpajakan Wajib Pajak dianggap benar.
Hanya saja Pasal 22 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa daluwarsa tersebut akan tertangguh atau mundur dari tahun pajak yang bersangkutan jika :
[a.] diterbitkan Surat Paksa;
[b.] ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
[c.] diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
[d.] dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam jangka waktu 5 tahun tersebut, DJP dapat melakukan koreksi terhadap SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui pemeriksaan. Menurut UU KUP, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dari definisi pemeriksaan sudah jelas bahwa DJP hanya bisa melakukan koreksi atas isi SPT Wajib Pajak jika DJP memiliki data, keterangan dan bukti bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar. Jika DJP tidak memiliki data dan bukti atas ketidakbenaran SPT Wajib Pajak maka DJP tidak bisa melakukan koreksi walaupun si pemeriksa pajak sangat yakin bahwa SPT Wajib Pajak salah. Keyakinan si pemeriksa tidak bisa dijadikan dasar melakukan koreksi SPT. Bahkan teknik-teknik analisa yang dilakukan oleh pemeriksa juga tidak cukup untuk dijadikan dasar koreksi.
DJP boleh melakukan koreksi SPT jika ada bukti nyata*). Meminjam peraturan kepabeanan bahwa bukti nyata adalah bukti atau data berdasarkan dokumen yang benar-benar tersedia dan pada dokumen tersebut terdapat besaran, nilai atau ukuran tertentu dalam bentuk angka, kata dan/atau kalimat. Dokumen ini bisa berasal dari dokumen Wajib Pajak atau pihak lain.
Selain dokumen, keterangan juga bisa dijadikan dasar koreksi SPT. Sesuai definisi pemeriksaan di UU KUP bahwa pemeriksa pajak itu mengolah data, keterangan atau bukti. Saya menganggap bukti ini dokumen jika mengacu kepada aturan kepabeanan. Sedangkan keterangan tidak didefinisikan secara jelas [setidaknya setelah dicari di databese aturan perpajakan] kecuali dalam kamus bahwa keterangan adalah sesuatu yang menjadi petunjuk atau yang menyebabkan tahu. Jadi bisa saja keterangan ini informasi yang diberikan pegawai Wajib Pajak, pihak lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak atau pihak lain yang independen. Apapun itu yang menyebabkan si pemeriksa pajak tahu bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.
*) istilah "bukti nyata" dan keharusan adanya bukti nyata, saya dengar dari rapat-rapat dengan boss.
0 komentar:
Posting Komentar